SILAKAN BERBAGI

Tampilkan postingan dengan label REALITA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label REALITA. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Oktober 2011

PETANI TEBU DI CIREBON, DULU KERJA PAKSA - SEKARANG....?

"...sementara itu pejabat-pejabat desa merupakan pihak-pihak yang paling aktif dalam melakukan penguasaan atas tanah dan kerja wajib bagi desa (Kuwu, raksa bumi, ngabehi, ngalambang, cap gawe, kabayan/juru tulis desa dan lebe)..."

"...setelah tanahnya dirampas, merekapun mengikuti Kerja/Tanam Paksa dan hanya menjadi  coolie diatas tanahnya sendiri..."

Menurut Ter’ Haar (dalam van der Kroef 1984: 159-160), masyarakat Jawa tradisional terklasifikasikan secara umum menjadi beberapa golongan sebagai berikut, pertama, kelompok penduduk desa inti yang disebut dengan sikep, baku, gogol atau pribumi. Penduduk desa inti bermukim di suatu tempat sejak secara turun temurun, memiliki tanah, rumah dan halaman, dan juga pekarangan sempit untuk tanaman kebutuhan dapur atau kebun buah-buahan, mempunyai kewajiban penuh sebagai warga desa terutama dalam pelaksanaan pekerjaan perbaikan dan pemeliharaan komunal. Kedua, Kelompok penduduk yang disebut dengan indung, hanya memiliki sebidang tanah pertanian atau rumah halaman dan halaman, namun mereka tidak memiliki keduanya (hanya salah satu), serta mempunyai hak kewajiban komunal yang terbatas. Ketiga, yaitu kelompok penduduk yang disebut dengan wuwungan, nusup, tlosor atau bujang. Mereka tidak memiliki baik itu tanah pertanian maupun rumah dan halaman, namun bertempat tinggal di halaman orang lain, dan bekerja sebagai penyewa atau petani bagi hasil, atau bahkan mereka hidup menumpang dan bekerja untuk pemilik rumah di mana dia tinggal.

Di dalam masyarakat pedesaan di Cirebon kekuasaan tertinggi terletak pada peran kuwu, tugas kuwu tersebut adalah mengatur kerja wajib secara bergiliran serta mengatur kehidupan sehari-hari di desa dengan dibantu oleh beberapa aparat pemerintahan desa lainnya. Para pejabat desa tersebut di antaranya adalah raksa bumi yang mempunyai tugas menjaga batas desa, ngabehi dan ngalambang yang merupakan dua orang wakil kuwu dalam menjalankan roda pemerintahan desa sehari-hari, cap gawe tugasnya adalah mengatur hampir semua urusan desa yang paling pokok di antaranya adalah urusan mengumpulkan masyarakat desa, kabayan atau jurutulis desa, dan lebe yaitu ulama desa (Tjondronegoro dan Wiradi, 1984: 36).

Kedudukan seorang kuwu dan bawahannya adalah bagian dari priyayi (yayi = adik raja), yang merupakan penghubung antara pihak kerajaan dengan rakyat (wong cilik). Kaum elit kerajaan dan priyayi tersebut dibedakan statusnya dari rakyat biasa karena mereka dapat menikmati hasil tanah tanpa harus mengerjakannya sendiri (Moertono dalam Onghokham, 1984: 5).

Selain adanya penguasa lokal yaitu para elit desa (priyayi), maka di Keresidenan Cirebon terdapat pula gologan yang “dikuasai” yaitu masyarakat desa tradisional yang terikat dalam suatu sistem yang dinamakan cacah. Cacah merupakan suatu ikatan hubungan ketergantungan antara keluarga petani pemilik dengan keluarga petani yang tidak memiliki tanah. Tanpa banyak mengadakan perubahan sistem dalam struktur tradisional, sistem cacah tersebut merupakan sistem pengerahan tenaga kerja yang tetap dipertahankan oleh pemerintah (Cahyono, 1991: 13; Breman, 1986: 15-16). Di dalam sistem cacah tersebut ternyata terdapat perbedaan kelas antar- kaum petani yang didasarkan atas cara-cara petani tersebut menguasai tanah. Petani penguasa tanah disebut sikep yang merupakan kelas petani penanggung beban atas tanah. Seorang sikep maksimal dapat menguasai sekitar 22 cacah yang tidak memiliki tanah (Cahyono, 1991: 13, Breman, 1986: 15-16).

Selain sikep ada pula golongan tangkong yang merupakan penduduk desa pemilik rumah dan pekarangan namun tidak memiliki tanah kasikepan, dan mereka tidak mempunyai kewajiban dalam melakukan kerja wajib yang menyangkut pertanian namun mereka tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan kerja wajib yang berkaitan dengan kepentingan desa. Tangkong dapat disebut pula sebagai sikep nomor dua. Istilah tersebut dapat pula berarti bahwa tangkong belum sepenuhnya menjadi sikep. Di Cirebon Tangkong merupakan calon utama pemegang hak atas tanah komunal apabila suatu ketika ada pembagian tanah tersebut. Linck (dalam Breman, 1986: 111), menyebutkan bahwa setiap patok kecil yang mereka terima dalam tanah komunal merupakan panjar untuk patok komunal seutuhnya. Namun setelah terjadinya perombakan agraria di Cirebon pada permulaan abad ke-20, maka fasilitas pembagian tanah komunal seperti itu tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, pada saat itu para tangkong pun tidak lagi mendapat kesempatan untuk memperbaiki status sosialnya untuk mejadi sikep penuh.

Sikep mempunyai lapisan sosial yang berada di bawahnya yaitu wuwungan atau yang disebut juga dengan bujang apabila belum menikah. Biasanya mereka tinggal di dalam lingkungan keluarga sikep, dan segala kebutuhan hidupnya menjadi kewajiban sikep. Sebagai balasan atas perlindungan yang diperolehnya itu, biasanya kelompok wuwungan akan dimanfaatkan tenaganya oleh sikep untuk melakukan pengolahan tanah miliknya. Petani-petani wuwungan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban seperti pajak atau kerja wajib terhadap negara melainkan hanya bekerja untuk sikep-nya. Terkadang sikep menggunakan mereka untuk melakukan kerja wajib bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sebab semua kewajiban terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti pajak dan kerja wajib dibebankan kepada kaum tani penguasa tanah (Eindresume dalam Onghokham, 1984: 7).

Lapisan wuwungan terbagi menjadi dua macam yaitu pemaro dan tani hamba, perbedaan di antara keduanya terletak pada kemandirian. Petani pemaro mempunyai rumah sendiri walaupun biasanya berada di lingkungan petani pemilik tanah, sedangkan petani hamba tinggal di dalam rumah induk semangnya dan tetap bekerja sebagai orang suruhan. Breman (1986:16), cenderung menyebut golongan pertama sebagai wuwungan dan yang kedua sebagai bujang. Namun seperti yang disebutkan van den Bosch dapat ditarik sebuah kesan bahwa status petani bertanah dan tidak bertanah tersebut merupakan gambaran dari hubungan “penghambaan” yang di masing-masing daerah mempunyai sebutan yang beragam. Selain itu juga ada kemungkinan sebutan-sebutan tersebut didasarkan atas status perkawinan mereka, yang mana para anak-anak muda yang belum menikah (bujang) memulai pekerjaan mereka dengan menjadi hamba sebelum menjadi wuwungan (setelah menikah) pada keluarga (sikep) yang sama maupun yang lain.

Seorang sikep yang berpindah tempat tinggal ke suatu wilayah baru karena alasan terbelit hutang ataupun masalah yang lain, dapat saja menyerahkan jasanya sebagai wuwungan di tempat barunya tersebut. Namun sebaliknya apabila seorang wuwungan berhasil mengumpulkan modal dan membuka tanah di lahan baru dapat mengangkat dirinya menjadi sikep dan bahkan dapat membangun cacah-nya sendiri. Selain itu dapat dimungkinkan juga terjadinya mobilitas vertikal yang mungkin dialami oleh wuwungan melalui jalan adopsi atau perkawinan sehingga wuwungan menjadi golongan sikep (van Deventer dalam Breman, 1986:17).

Di samping berstatus sikep, mereka juga umumnya merupakan cikal-bakal desa. Dalam kedudukan seperti itu mereka berhak dipilih menjadi kuwu atau duduk di dalam pemerintahan desa. Kedudukan-kedudukan seperti itu memiliki banyak keuntungan, yaitu dengan adanya fasilitas tanah bengkok yang merupakan tanah gaji pejabat desa seluas lima hektar untuk kuwu dan sekitar dua hektar untuk aparat desa yang lainnya. Di samping adanya persentase Sistem Tanam Paksa dan hak kerja wajib untuk tanah gaji mereka. Sementara itu pejabat-pejabat desa merupakan pihak-pihak yang paling aktif dalam melakukan penguasaan atas tanah dan kerja wajib bagi desa. Karena tanah yang dimiliki oleh desa biasanya merupakan tanah yang memiliki kualitas terbaik, terlebih apabila tanah tersebut merupakan tanah bengkok (tanah gaji) (Onghokham, 1984: 22).

Tekanan atas tanah dan tenaga kerja di Cirebon pada masa pemberlakuan Sistem Tanam Paksa telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang terjadi atas posisi petani. Istilah petani sikep dalam arti penduduk desa dengan hak atas tanah telah hilang dari lingkungan desa dan bertransformasi menjadi kuli (coolie) sebuah istilah yang berarti pekerja tanpa keahlian. Hal itu disebabkan karena semua penduduk desa dengan hak-hak tanah diwajibkan untuk melakukan kerja wajib tanpa kecuali. Transformasi tersebut merupakan gambaran peralihan orientasi petani tradisonal dari pertanian sawah menjadi petani tanaman ekspor pada masa Sistem Tanam Paksa dan akhirnya menjadi seorang kuli industri setelah kehilangan tanah mereka.

Pada permulaan abad ke-20, ciri penting masyarakat tani di Jawa yang terbagi ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada kepemilikan tanah tetap berlaku di pedesaan. Masyarakat itu pada hakikatnya terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama, yaitu golongan manyarakat desa yang memiliki kesempatan untuk menjadi pemegang hak penggarapan tanah komunal. Golongan itu umumnya disebut sebagai sikep, kuli kenceng, kuli kendo, dan sebagainya. Golongan kedua yaitu golongan yang tidak mempunyai hak apapun atas tanah. Umumnya mereka itu disebut dengan wuwungan, bujang, tlosor, dan sebagainya.

Kelas sosial masyarakat pedesaan di Keresidenan Cirebon pada permulaan abad ke-20 pun tidak berubah seputar keberadaan sikep, tangkong, dan wuwung. Namun kuantitas petani tidak bertanah di daerah tersebut menjadi lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai penggarap tanah orang lain, baik menjadi buruh tani maupun penyewa. Hal ini terjadi kemungkinan diakibatkan oleh adanya perombakan agraria yang memaksa para tankong kehilangan kesempatan mendapatkan pembagian tanah komunal dan hal ini juga berarti telah berkurangnya pula kesempatan bekerja yang menyangkut dengan tanah karena besar kemungkinan bagi mereka yang telah kehilangan tanah menjadi pekerja di sektor non-pertanian seperti menjadi buruh di pabrik-pabrik penggilingan tebu. Hal seperti itu dapat pula dijadikan petunjuk mengenai penurunan penduduk pekerja pertanian pada 1905 dan 1930. Bersambung...ayeuna mah ngupi dulu, mangga diantos komentarna .

SUMBER BACAAN :
- Perpustakaan Pribadi Deddy Madjmoe
- Poto Jadul ....gogling aja...

Selasa, 11 Oktober 2011

GEMPA JEPANG DAN STUNAMI :Eka Erikson (perawat jompo, 2008) Desa Jatiseeng Kidul RT 04/09 Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, Jabar;

Beberapa warga Cirebon Timur menjadi korban gempa dan stunami di Jepang waktu bulan Maret kemarin, inilah liputan beritanya :

INILAH.COM, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat di Jakarta, Rabu, memastikan 35 TKI perawat pasien dan perawat jompo di lima prefektur (provinsi) di Jepang selamat pascagempa dan tsunami di negara itu pada Jumat (11/3).

Secara keseluruhan, 686 perawat pasien (nurse) dan perawat jompo (careworker/caregiver) yang ditempatkan BNP2TKI sejak 2008-2010 di Jepang atas dasar kerja sama antarpemerintah (G to G) yang tersebar di 45 dari 47 prefektur (provinsi) di negeri Sakura itu dalam keadaan selamat.

Ia mengatakan terdapat 35 orang TKI perawat pasien dan perawat jompo di lima provinsi yang terkena dampak serius atas gempa dan tsunami itu adalah Miyagi, Iwate, Fukushima, Aomori, dan Ibaraki.

Hingga Selasa (15/3), katanya, sebagian dari 35 orang tersebut masih belum terpantau keberadaannya tetapi sekarang sudah dipastikan bahwa mereka dalam keadaan selamat.

Dari ke-35 orang di lima prefektur yang selamat itu tersebar sembilan orang di prefektur Miyagi, dua orang di Iwate, empat orang di Fukushima, 12 orang di Aomori, dan delapan orang di Ibaraki.

Sembilan perawat yang bekerja di Miyagi adalah
1. Mugiyati (perawat jompo, tahun penempatan 2010) asal Tukinggedong RT 03/11 Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Jateng,
2. Desi Subarkah (perawat jompo, 2010) asal Dusun Klepusari RT 03/08, Tambaksari, Kedungreja, Kabupaten Cilacap, Jateng,
3. Jajang Rahmat (perawat jompo, 2010) asal Kampung Pasir Batu RT 02/02 Dusun Sukahaji, Kecamatan Sukawening, Kabupaten Garut, Jabar.
4. Emey Wahyudi (perawat jompo, 2009) asal Taman Tytyan Indah Blok B2 Nomor 12B, Bekasi, Jabar;
5. Siti Nur Lailiyah (perawat jompo, 2009) asal Jalan Mbah Citro RT 02/03 Wadungasih Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jatim,
6. Wihel Mariadewi (perawat jompo, 2009) asal Jalan Jambak Kototinggi Kecamatan Baso, Kota Bukittinggi, Sumbar;
7. Wisita Permanasari (perawat pasien, 2010) asal Dukuh Nogo RT 04/02 Desa Karangwaluh, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jatim.
8. Rita Retnaningtyas (perawat pasien, 2009) asal Potrosari I RT 5/02 Srondol Kulon, Banyumanik, Semarang, Jateng,
9. Yantri (perawat pasien, 2009) asal Desa Budur, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jabar.

Di Iwati terdapat dua orang TKI perawat jompo yakni M Nasir Sultan (2009) asal Kelurahan Sabe RT 01/01 Kecamatn Belopa Utara, Kabupaten Luwu, Sulsel, dan Miftahuddin (2009) asal Perum Kota Wisata Cluster Believeu 15, Cibubur, Kabupaten Bogor, Jabar.

Di Fukushima terdapat empat perawat pasien yang sudah dievakuasi ke Tokyo yakni :
1. Dwi Astuti (2009) asal Dukuh Soronalan 01/01 Desa Blimbing Kecamatan Karangnongko, Kabupaten Klaten, Jateng;
2. Puspawati (2009) asal Jalan Charitas Nomor 1 Timika Jaya, Mimika Baru, Papua Barat;
3. Herlina Semi (2009) asal Jalan Dirgantara LR 8 Nomor 14 RT 2/01 Paropo, Panakkukang, Makassar, Sulsel;
4. Yulianti (2009) asal Jalan Kenanga Gang Buntu II Nomor 8 Pd Bulan Senapelan, Pekanbaru, Riau.

Sementara 12 perawat pasien dan perawat jompo di Aomori dalam keadaan selamat yakni
1. Arni Susanti (perawat pasien, 2008) asal Jalan Sejahtera 148 RT 2 RW 13 Kelurahan Rumbai Boot, Kecamatan Rumbai, Pekanbaru;
2. Nurul Huda (perawat pasien, 2008) asal Jalan KH Nasution Gg Ilham Nomor 117, Pekanbaru; ,
3. Gandri, Kecamatan Pangkur, Kabupaten Ngawi, Jatim;
4. Agustinus Widi Nugroho (perawat jompo, 2010) asal Gg Tegalega Nomor 51/20, Kelurahan Ciateul, Kecamatan Regol, Bandung, Jabar;
5. Erna Irianti (perawat jompo, 2010) asal Dusun Welar, Desa Kenteng RT 04/02 Kecamatan Toron, Kabupaten Grobogan, Jateng;
6. Hade Inchi (perawat jompo, 2010) asal Blk 04 RT 03/09 Desa Cikedung Lor, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, Jabar.
7. Mulyadi Nugraha (perawat jompo, 2009) asal Jalan Raya Wanaraja Nomor 429 RT 01/09, Wanamekar, Kabupaten Garut, Jabar;
8. Suliswanto (perawat jompo, 2009) asal Moch Toha Gg Tegalega Nomor 51/20C, Kelurahan Ciateul, Bandung, Jabar; Dwi Agustin Ningrum (perawat jompo, 2008) asal Jalan H Baping RT 003 RW 09 Nomor 10, Ciracas, Jakarta Timur;
9. Rosfa Damayanti Soedirdjo (perawat jompo, 2008) asal Pamulang Indah Jalan Dahlia Blok B9 RT 06/07 Nomor 8 Pamulang, Tangerang, Banten;
10. Devi Agustina (perawat jompo, 2009) asal Desa Balerejo RT 11/02 Kecamatan Balerejo, Kabupaten Madiun, Jatim;
11. Sulis Yami Indrawati (perawat jompo, 2009) asal Blok Contilan RT 01/03 Desa/Kecamatan Kedawung, Cirebon, Jabar.
12. Achmad Kurniawan (perawat jompo, 2010) asal Sobah RT 02/05

Sementara di Ibaraki ada delapan perawat yang selamat adalah
1. Wawan Kurniawan (perawat jompo, 2009) asal Dusun 04 RT 03/04 Kecamatan Babakan, Cirebon, Jabar;
2. Astri Dewi Lanestia S (perawat jompo, 2009) asal Jalan HM Tohir Nomor 20 RT 2/01 Kelurahan Pondok Cina, Kecamat Beji, Kota Depok, Jabar;
3. Masnawati (perawat jompo, 2009) BTN Dewi Kumala Sari Blok AB 9/10, Makassar, Sulsel;
4. Romie Anugrah (perawat jompo, 2009) asal Dusun 05 RT 02/10 Desa babakan Gebang, Kecamatan Babakan, Cirebon, Jabar.
5. Ari Minggah Rahayu (perawat, 2009) asal Jalan Ceremai Raya BC/232 RT 5/13 Kayuringin, Bekasi Selatan, Jabar;
6. Rastini (perawat, 2009) asal Blok Karang Wangi 05/03 Budur Ciwaringin, Cirebon, Jabar;
7. Eka Erikson (perawat jompo, 2008) Desa Jatiseeng Kidul RT 04/09 Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, Jabar;
8. Kartiwan (perawat jompo, 2008) asal Kabupaten Bandung.

"Pada umumnya mereka juga sudah menghubungi keluarganya di Tanah Air melalui telepon maupun surat elektronik," kata Jumhur. [ant]