SILAKAN BERBAGI

Jumat, 30 April 2010

Kepangeranan Gebang

Gedung Cagar Budaya Nasional Tri Panca Tunggal,Cigugur-Kab.Kuningan Jawa Barat dibangun tahun 1840.
Dalam catatatan kecil beberapa waktu yang lalu, penderitaan masyarakat Cirebon ABAD XVIII sangat mengerikan. Karena kerja rodi dan adanya Preanger Stelsel. Bahaya kelaparan yang ada dimana-mana mengakibatkan banyaknya perampokan yang mengakibatkan pemberontakan diarahkan kepada etnis keturunan dan VOC juga kepada pemerintahan Raja Cirebon yang sebenarnya dijadikan boneka oleh VOC. Pemberontakan yang dipimpin oleh MIRSA ini berkali-kali dipadamkan oleh VOC namun selalu gagal.

Pecah lagi pemberontakan pada tahun 1796 dan pemberontakan rakyat Gebang sampai tahun 1799 di mana VOC dibubarkan dan daerah kekuasaanya diserahkan kepada Pemerintahan Belanda.Yang menarik dari kepangeranan Gebang ini, adalah daerahnya selalu bergolak dan menjadi basis pertahanan karena wilayahnya berbatasan dengan Jawa Tengah. Pengambil alihan kekuasaan dari VOC ke Pemerintah Belanda nampaknya tidak meredakan bara pemberontakan yang terus bergejolak.

Pemberontakan yang dipimpin oleh SIDUNG ARISIM dan SUARSA sampai pada puncaknya tahun 1802. Sama halnya dengan VOC, Pemeberintah Belandfa tidak mampu menghentikan pemberontakan ini. Bukan Belanda kalau tidak licik, SIDUNG ARISIM dan SUARSA-pun akhirnya menyerah kepada Pemerintah Belanda, karena dijanjikan rakyat Gebang akan diringankan dari segala beban.

Dari peristiwa inilah Pemerintah Belanda, kemudian mencopot kedudukan Pangeran Gebang dengan tuduhan pemerasan kepada rakyat.Dan dikeluarkanlah Reglemen Van Het Beheer Van de Cheribonsche Landen tertanggal 2 Februari 1809. Maka Karisidenan Cirebon yang terbentuk tahun 1705 itu berakhir, selanjutnya akan dijadikan dua perfektura, satu diantaranya daerah Sultan Cirebon dan Pangeran Gebang dan yang kedua tanah Priangan Cirebon.

Sultan Cirebon yang diperlakukan sebagai pegawai raja Belanda kepangkatannya ada di bawah PERFEKTURA yang harus tunduk kepada Pemerintah Belanda. Sultan Cirebon pada akhirnya akan dipertahankan untuk memberikan tanda-tanda atau simbol-simbol penghormatan dan kewibawaan dan kemulyaan Sultan terhadap penduduk pribumi.

Kepada para Sultan dibagikan pula tanah serta cacahnya meneurut ketetapan dan apa yang disebut tanah Sultan dan Pangeran Gebang akan dibagi diantara tiga Sultan ialah :
1. Kasepuhan : 4239 jung sawah dan 80635 cacah
2.Kanoman : 4304 Jung sawah dan 76622 cacah
3.Kacirebonan : 4293 Jung sawah dan 80250 cacah.

Daerah Kuningan yg semula termasuk wilayah tanah Pangeran Gebang diperuntukan bagi Sultan Kasepuhan ialah Kuningan, Cikaso, dan Pegunungan Gebang (Sedong?). Dicopotnya Pangeran Gebang dari kedudukannya di Kepangeranan GEBANG KINATAR adalah pemutar balikan fakta dan tuduhan bahwa Pangeran Gebang memeras rakyat.Padahal sasaran pemberontakan adalah etnis keturunan dan VOC. Pangeran Gebang adalah keturunan dari Pangeran WIRASUTA UPAS yang diangkat sebagai Pangeran Gebang setelah terbentuk Karisidenan Cirebon sekitar th 1705.

Setelah GEBANG dihilangkan kekuasaanya dan keturunan Gebang selanjutnya adalah PANGERAN ALIBASA yang menetap di Gebang Udik. Dalam silsilah keturunan keluarga keturuna Gebang adalah sbb :
1. Pangeran Wirasutajaya.
2.Pangeran Seda Ing Demung.
3.Pangeran Nata Manggala.
4.Pangeran Seda Ing Tambak.
5.Pangeran Seda Ing Grogol.
6.Pangeran Dalam Kebon.
7. Pangeran Sutajaya Upas.
8. Pangeran Sutajaya kedua.
9. Pangeran Alibasa.

Pangeran Alibasa yang juga dikenal dengan nama Pangeran Surya Natan atau Pangeran Kusuma Adiningrat. Yang merupakan buyutnya dari Pangeran Djatikusuma. Sekarang tinggal di Paseban Tri Panca Tunggal Cigugur,Kab.Kuningan Jawa Barat...

@ Kanjeng Pangeran, yang benar Pangeran Djatikusumah. Bukan Pangeran Wijaya Kusuma.
@ Kang Inay Damha...mudah-mudahan kurang pas, saya akan selusuri kembali.

dari catatan facebook oleh Yatno Kartaradjasa

Kamis, 29 April 2010

Penambangan Picu Sedimentasi

Truk Pengangkut Pasir Juga Rusakkan Jalan
Kamis, 29 April 2010 | 12:43 WIB
Cirebon, Kompas - Kerusakan lingkungan karena pembukaan tanah, penggalian, serta pencucian pasir di sepanjang Sungai Cisanggarung perbatasan Cirebon-Kuningan disinyalir menjadi salah satu penyebab pendangkalan Sungai Cisanggarung dan Ciberes di Cirebon wilayah timur. Masyarakat minta penggalian pasir ilegal tidak hanya ditutup, tetapi juga diproses secara hukum jika merusak lingkungan.
Dari pantauan sepekan terakhir hingga Selasa (27/4), praktik penggalian pasir di Daerah Aliran Sungai Cisanggarung dan Ciberes tak hanya terjadi Bukit Azimut, Kecamatan Waled, Kabupaten Cirebon. Hulu Cisanggarung di Kuningan, sekitar Blok Putersari, Desa Cikeusik, Kecamatan Cidahu, juga dirambah. Luasnya bervariasi, 1-5 hektar. Penggalian Bukit Azimut dua tahun lalu sempat ditutup Pemerintah Kabupaten Cirebon. Namun, penggali ilegal terkadang masih memanfaatkan pasirnya untuk digali secara manual.




Menurut aktivis lingkungan Petakala Grage, Deddy Madjmoe, penggalian di sejumlah daerah itu disinyalir menjadi salah satu penyebab dangkalnya Sungai Ciberes dan Cisanggarung. Sebab, beberapa di antaranya mempunyai tempat pencucian pasir di sekitar Sungai Cisanggarung. Pencucian ini menyebabkan lumpur galian mengendap di sungai dan membentuk sedimen.
Daerah bekas galian pasir juga tak bisa menyerap dan penyimpan air sehingga air dengan mudah mengalir membawa lumpur ke daerah sungai.
Aktivis Masyarakat Pecinta Sungai, Bambang Sasongko, meminta pemerintah mengkaji penggalian pasir yang merusak lingkungan. "Kalau ilegal, jangan hanya ditutup, tapi diajukan ke pengadilan. Selama ini apa pernah kasus galian pasir ilegal masuk ke pengadilan? Yang ada hanya ditutup, besok pasti ada lagi," katanya.
Berlubang
Selain menyebabkan pengendapan, penggalian pasir dikeluhkan warga karena merusak jalan. Jalan penghubung kecamatan di wilayah timur Cirebon rusak dan berlubang-lubang. Jalur tersebut banyak dilalui truk pengangkut pasir.
Warga Desa Cikulak, Kecamatan Waled, bahkan sempat menanam pohon di lubang jalan di depan RSUD Waled, beberapa waktu lalu, karena kesal akibat rusaknya jalan.
Menurut Adang, warga Cikulak, selama pembangunan Tol Kanci-Pejagan, setiap hari ada sekitar 100 truk yang mondar-mandir membawa material dan pasir melewati jalan-jalan di wilayah timur. Pascapembangunan Tol Kanci-Pejagan, jalan kabupaten dan provinsi itu masih saja dilalui truk pasir. Bahkan truk pasir lewat tanpa penutup bak sehingga debunya bertebaran.
Kepala Badan Koordinator Pembangunan dan Pemerintahan Wilayah III Cirebon Ano Sutrisno mengatakan, persoalan pendangkalan sungai dan kerusakan jalan akan dibahas menyeluruh dengan berbagai instansi. Normalisasi sungai akan dilakukan pemerintah pusat karena butuh dana triliunan rupiah.
"Pendangkalan bukan masalah kecil, menyangkut hubungan antardaerah dengan dana yang tinggi. Penambangan pasir harus segera ditutup jika ilegal. Kalaupun berizin, namun merusak lingkungan, juga harus ditinjau ulang," katanya.
Ano mengakui, truk pasir yang melintasi wilayah timur sering kali kelebihan muatan. Hal itu menyebabkan jalan-jalan di wilayah timur rusak karena tidak didesain untuk menahan berat lebih dari 10 ton. (NIT)