SILAKAN BERBAGI

Sabtu, 29 Oktober 2011

Mantan Suami Melinda Cinta Satu Malam : Bupati Cirebon ? Anaknya bernama “Maharani Supardi”


"Gak percaya denger kabar burung itu, apalagi ini menyangkut orang nomor satu di Kabupaten Cirebon, Dedi Supardi" kata seorang ibu muda di salah satu TK di Ciledug yang sedang ngerumpi sambil nunggu anaknya sekolah.

Lima hari yang lalu memang heboh bahwa pedangdut Cinta Satu Malam, Melinda, mantan suaminya adalah pejabat di Cirebon. Kita telusuri beritanya.


Pernikahan Melinda Dangdut dan Pejabat Kabupaten Cirebon ini sendiri
berlangsung di awal tahun 2010, dan berakhir di bulan
Juli 2011. Dari nikah siri itu sendiri, pedangdut ini melahirkan
seorang putri cantik.

Penyanyi dangdut dengan nama asli Eka Mailinda pernah membuat
pernyataan mengejutkan di awal bulan Maret lalu, yaitu sudah menikah dan
bahkan melahirkan seorang bayi perempuan. Nama Mantan Suami Melinda Suami Siri Melinda adalah Supardi, seorang pejabat di Cirebon. Dan hanya bertahan selama 1 tahun 3 bulan.

“Saya satu tahun istirahatnya dari dunia hiburan. Anak saya
sudah dua bulan umurnya. Tapi ini privasi saya dan saya enggak mau   mempublikasikan,”

“Bagi saya, : pernikahan ini kabar bahagia dan saya bangga.”

“Tapi saya tidak mau komentar kalau soal itu (identitas suami dan
 anak),”

 Nikah bulan April 2010

 “Aku resmi cerai itu bulan Juli 2011, di saat usia pernikahan satu tahun tiga bulan,”

    “Aku no comment saja siapa orangnya.”

    “Sekarang, anak saya sudah sembilan bulan dan lagi lucu-lucunya,”

  “Dia cantik, tetapi mirip ayahnya. Menjadi ibu sangat luar biasa. Saya merasa berkah banget malaikat kecil saya itu membawa rezeki buat dirinya sendiri,”

Perceraian Melinda dan Pejabat Cirebon ini sendiri terjadi karena
pedangdut yang sempat memacari Ilham 9Band ini selain dilarang berkarier juga disia-siakan.

“Kalau jadi istri kan harus menurut apa kata suami. Saya enggak boleh berkarier.”

 “Padahal awalnya boleh, tapi belakangan enggak boleh.”

“Saya kan ujung tombak keluarga. Apalagi, sekarang sudah punya anak. Mau dapat uang dari mana kalau tidak menyanyi?”

“Dia juga tidak pernah memperhatikan saya dan anak. Lebih baik saya cerai daripada dikekang,”

Meski sudah ditelantarkan, :tapi Melinda Penyanyi Dangdut  ini tetap
menyembunyikan identitas sang mantan suami.

“Suami saya kan dari politik. Saya inginnya aman dan saya jaga imej dia juga.”

“Enggak perlu saya sebut namanya. Cari saja sendiri di Cirebon,”
 
Saat dikonfirmasi soal hasrat bercinta yang selama lima bulan ga’
lagi bisa disalurkan, pelantun lagu Cinta Satu Malam ini punya trik khusus.

“Namanya juga janda. Aku kan memang sudah janda.”

“Hasrat biologis tentu ada. Tapi saya mengatasinya dengan mengambil wudhu lalu berzikir,”

“Sekarang kan sudah kembali menyanyi, ditambah kehadiran anak
ikut membantu aku melupakan hasrat itu,”

Mau lengkap beritanya bawa menyan dan sasajen ke embah google, cari Kisah Paling Panas! 

Sumber poto dan berita : Oktavita.Com

Rabu, 12 Oktober 2011

PETANI TEBU DI CIREBON, DULU KERJA PAKSA - SEKARANG....?

"...sementara itu pejabat-pejabat desa merupakan pihak-pihak yang paling aktif dalam melakukan penguasaan atas tanah dan kerja wajib bagi desa (Kuwu, raksa bumi, ngabehi, ngalambang, cap gawe, kabayan/juru tulis desa dan lebe)..."

"...setelah tanahnya dirampas, merekapun mengikuti Kerja/Tanam Paksa dan hanya menjadi  coolie diatas tanahnya sendiri..."

Menurut Ter’ Haar (dalam van der Kroef 1984: 159-160), masyarakat Jawa tradisional terklasifikasikan secara umum menjadi beberapa golongan sebagai berikut, pertama, kelompok penduduk desa inti yang disebut dengan sikep, baku, gogol atau pribumi. Penduduk desa inti bermukim di suatu tempat sejak secara turun temurun, memiliki tanah, rumah dan halaman, dan juga pekarangan sempit untuk tanaman kebutuhan dapur atau kebun buah-buahan, mempunyai kewajiban penuh sebagai warga desa terutama dalam pelaksanaan pekerjaan perbaikan dan pemeliharaan komunal. Kedua, Kelompok penduduk yang disebut dengan indung, hanya memiliki sebidang tanah pertanian atau rumah halaman dan halaman, namun mereka tidak memiliki keduanya (hanya salah satu), serta mempunyai hak kewajiban komunal yang terbatas. Ketiga, yaitu kelompok penduduk yang disebut dengan wuwungan, nusup, tlosor atau bujang. Mereka tidak memiliki baik itu tanah pertanian maupun rumah dan halaman, namun bertempat tinggal di halaman orang lain, dan bekerja sebagai penyewa atau petani bagi hasil, atau bahkan mereka hidup menumpang dan bekerja untuk pemilik rumah di mana dia tinggal.

Di dalam masyarakat pedesaan di Cirebon kekuasaan tertinggi terletak pada peran kuwu, tugas kuwu tersebut adalah mengatur kerja wajib secara bergiliran serta mengatur kehidupan sehari-hari di desa dengan dibantu oleh beberapa aparat pemerintahan desa lainnya. Para pejabat desa tersebut di antaranya adalah raksa bumi yang mempunyai tugas menjaga batas desa, ngabehi dan ngalambang yang merupakan dua orang wakil kuwu dalam menjalankan roda pemerintahan desa sehari-hari, cap gawe tugasnya adalah mengatur hampir semua urusan desa yang paling pokok di antaranya adalah urusan mengumpulkan masyarakat desa, kabayan atau jurutulis desa, dan lebe yaitu ulama desa (Tjondronegoro dan Wiradi, 1984: 36).

Kedudukan seorang kuwu dan bawahannya adalah bagian dari priyayi (yayi = adik raja), yang merupakan penghubung antara pihak kerajaan dengan rakyat (wong cilik). Kaum elit kerajaan dan priyayi tersebut dibedakan statusnya dari rakyat biasa karena mereka dapat menikmati hasil tanah tanpa harus mengerjakannya sendiri (Moertono dalam Onghokham, 1984: 5).

Selain adanya penguasa lokal yaitu para elit desa (priyayi), maka di Keresidenan Cirebon terdapat pula gologan yang “dikuasai” yaitu masyarakat desa tradisional yang terikat dalam suatu sistem yang dinamakan cacah. Cacah merupakan suatu ikatan hubungan ketergantungan antara keluarga petani pemilik dengan keluarga petani yang tidak memiliki tanah. Tanpa banyak mengadakan perubahan sistem dalam struktur tradisional, sistem cacah tersebut merupakan sistem pengerahan tenaga kerja yang tetap dipertahankan oleh pemerintah (Cahyono, 1991: 13; Breman, 1986: 15-16). Di dalam sistem cacah tersebut ternyata terdapat perbedaan kelas antar- kaum petani yang didasarkan atas cara-cara petani tersebut menguasai tanah. Petani penguasa tanah disebut sikep yang merupakan kelas petani penanggung beban atas tanah. Seorang sikep maksimal dapat menguasai sekitar 22 cacah yang tidak memiliki tanah (Cahyono, 1991: 13, Breman, 1986: 15-16).

Selain sikep ada pula golongan tangkong yang merupakan penduduk desa pemilik rumah dan pekarangan namun tidak memiliki tanah kasikepan, dan mereka tidak mempunyai kewajiban dalam melakukan kerja wajib yang menyangkut pertanian namun mereka tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan kerja wajib yang berkaitan dengan kepentingan desa. Tangkong dapat disebut pula sebagai sikep nomor dua. Istilah tersebut dapat pula berarti bahwa tangkong belum sepenuhnya menjadi sikep. Di Cirebon Tangkong merupakan calon utama pemegang hak atas tanah komunal apabila suatu ketika ada pembagian tanah tersebut. Linck (dalam Breman, 1986: 111), menyebutkan bahwa setiap patok kecil yang mereka terima dalam tanah komunal merupakan panjar untuk patok komunal seutuhnya. Namun setelah terjadinya perombakan agraria di Cirebon pada permulaan abad ke-20, maka fasilitas pembagian tanah komunal seperti itu tidak terjadi lagi. Oleh karena itu, pada saat itu para tangkong pun tidak lagi mendapat kesempatan untuk memperbaiki status sosialnya untuk mejadi sikep penuh.

Sikep mempunyai lapisan sosial yang berada di bawahnya yaitu wuwungan atau yang disebut juga dengan bujang apabila belum menikah. Biasanya mereka tinggal di dalam lingkungan keluarga sikep, dan segala kebutuhan hidupnya menjadi kewajiban sikep. Sebagai balasan atas perlindungan yang diperolehnya itu, biasanya kelompok wuwungan akan dimanfaatkan tenaganya oleh sikep untuk melakukan pengolahan tanah miliknya. Petani-petani wuwungan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban seperti pajak atau kerja wajib terhadap negara melainkan hanya bekerja untuk sikep-nya. Terkadang sikep menggunakan mereka untuk melakukan kerja wajib bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sebab semua kewajiban terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda seperti pajak dan kerja wajib dibebankan kepada kaum tani penguasa tanah (Eindresume dalam Onghokham, 1984: 7).

Lapisan wuwungan terbagi menjadi dua macam yaitu pemaro dan tani hamba, perbedaan di antara keduanya terletak pada kemandirian. Petani pemaro mempunyai rumah sendiri walaupun biasanya berada di lingkungan petani pemilik tanah, sedangkan petani hamba tinggal di dalam rumah induk semangnya dan tetap bekerja sebagai orang suruhan. Breman (1986:16), cenderung menyebut golongan pertama sebagai wuwungan dan yang kedua sebagai bujang. Namun seperti yang disebutkan van den Bosch dapat ditarik sebuah kesan bahwa status petani bertanah dan tidak bertanah tersebut merupakan gambaran dari hubungan “penghambaan” yang di masing-masing daerah mempunyai sebutan yang beragam. Selain itu juga ada kemungkinan sebutan-sebutan tersebut didasarkan atas status perkawinan mereka, yang mana para anak-anak muda yang belum menikah (bujang) memulai pekerjaan mereka dengan menjadi hamba sebelum menjadi wuwungan (setelah menikah) pada keluarga (sikep) yang sama maupun yang lain.

Seorang sikep yang berpindah tempat tinggal ke suatu wilayah baru karena alasan terbelit hutang ataupun masalah yang lain, dapat saja menyerahkan jasanya sebagai wuwungan di tempat barunya tersebut. Namun sebaliknya apabila seorang wuwungan berhasil mengumpulkan modal dan membuka tanah di lahan baru dapat mengangkat dirinya menjadi sikep dan bahkan dapat membangun cacah-nya sendiri. Selain itu dapat dimungkinkan juga terjadinya mobilitas vertikal yang mungkin dialami oleh wuwungan melalui jalan adopsi atau perkawinan sehingga wuwungan menjadi golongan sikep (van Deventer dalam Breman, 1986:17).

Di samping berstatus sikep, mereka juga umumnya merupakan cikal-bakal desa. Dalam kedudukan seperti itu mereka berhak dipilih menjadi kuwu atau duduk di dalam pemerintahan desa. Kedudukan-kedudukan seperti itu memiliki banyak keuntungan, yaitu dengan adanya fasilitas tanah bengkok yang merupakan tanah gaji pejabat desa seluas lima hektar untuk kuwu dan sekitar dua hektar untuk aparat desa yang lainnya. Di samping adanya persentase Sistem Tanam Paksa dan hak kerja wajib untuk tanah gaji mereka. Sementara itu pejabat-pejabat desa merupakan pihak-pihak yang paling aktif dalam melakukan penguasaan atas tanah dan kerja wajib bagi desa. Karena tanah yang dimiliki oleh desa biasanya merupakan tanah yang memiliki kualitas terbaik, terlebih apabila tanah tersebut merupakan tanah bengkok (tanah gaji) (Onghokham, 1984: 22).

Tekanan atas tanah dan tenaga kerja di Cirebon pada masa pemberlakuan Sistem Tanam Paksa telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang terjadi atas posisi petani. Istilah petani sikep dalam arti penduduk desa dengan hak atas tanah telah hilang dari lingkungan desa dan bertransformasi menjadi kuli (coolie) sebuah istilah yang berarti pekerja tanpa keahlian. Hal itu disebabkan karena semua penduduk desa dengan hak-hak tanah diwajibkan untuk melakukan kerja wajib tanpa kecuali. Transformasi tersebut merupakan gambaran peralihan orientasi petani tradisonal dari pertanian sawah menjadi petani tanaman ekspor pada masa Sistem Tanam Paksa dan akhirnya menjadi seorang kuli industri setelah kehilangan tanah mereka.

Pada permulaan abad ke-20, ciri penting masyarakat tani di Jawa yang terbagi ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada kepemilikan tanah tetap berlaku di pedesaan. Masyarakat itu pada hakikatnya terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama, yaitu golongan manyarakat desa yang memiliki kesempatan untuk menjadi pemegang hak penggarapan tanah komunal. Golongan itu umumnya disebut sebagai sikep, kuli kenceng, kuli kendo, dan sebagainya. Golongan kedua yaitu golongan yang tidak mempunyai hak apapun atas tanah. Umumnya mereka itu disebut dengan wuwungan, bujang, tlosor, dan sebagainya.

Kelas sosial masyarakat pedesaan di Keresidenan Cirebon pada permulaan abad ke-20 pun tidak berubah seputar keberadaan sikep, tangkong, dan wuwung. Namun kuantitas petani tidak bertanah di daerah tersebut menjadi lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai penggarap tanah orang lain, baik menjadi buruh tani maupun penyewa. Hal ini terjadi kemungkinan diakibatkan oleh adanya perombakan agraria yang memaksa para tankong kehilangan kesempatan mendapatkan pembagian tanah komunal dan hal ini juga berarti telah berkurangnya pula kesempatan bekerja yang menyangkut dengan tanah karena besar kemungkinan bagi mereka yang telah kehilangan tanah menjadi pekerja di sektor non-pertanian seperti menjadi buruh di pabrik-pabrik penggilingan tebu. Hal seperti itu dapat pula dijadikan petunjuk mengenai penurunan penduduk pekerja pertanian pada 1905 dan 1930. Bersambung...ayeuna mah ngupi dulu, mangga diantos komentarna .

SUMBER BACAAN :
- Perpustakaan Pribadi Deddy Madjmoe
- Poto Jadul ....gogling aja...

Jejak Konglomerat Tionghoa-Cirebon "Majoor Tan Tjin Kie" Pemilik Gedung Mewah Binarong Di Jatiseeng Kidul (saat itu Loewoenggadjah) Ciledug

Jejak Konglomerat Tionghoa-Cirebon


TAN Tjin Kie, nama yang kini asing terdengar di telinga masyarakat Cirebon. Namun, pada awal tahun 1900-an, namn itu pernah dikenal di sepanjang jalur pantai utara Jawa, Babah Tjin Kie, demikian kalangan sepuh masyarakat Cirebon memanggilnya. Sebuah nama yang legendaris karena kekayaannya yang luar biasa. Nama tokoh ini sejajar dengan orang kara lainnya, seperti Ki Mardiyah (Gegesik) dan Hj. Moentoek (Losari).

Kampung Dukuhsemar. Kelurahan Drajat, Kota Cirebon, yang letaknya bersebelahan dengan terminal bus antarkota, sepertinya tak memberi kesan luar biasa. Deretan rumah sederhana bertengger seperti perkampungan biasa yang ada di kota itu. Namun di tengah perkampungan itu, tersisa beberapa bong (makam Cina) yang telah runtuh. Bangunan dasar bong tersebut masih tampak menonjol di permukaan tanah, seakan sulit dibongkar karena kekamya beton bong yang keras. Di tempat itulah makam keluarga Tan Tjin Kie berada. Sementara kuburan Tan Tjin Kie sendiri diduga berada di atas rumah penduduk.

"Tan Tjin Kie telah menjadi legenda masyarakat Tionghoa di Cirebon," kata sesepuh masyarakat Tionghoa Cirebon, dr. Iwan Satibi (72), yang memiliki nama asli Ie Tiong Bie kepada penulis. "Beliau adalah orang besar yang patut mendapat penghormatan abadi. Kami mengusulkan agar makamnya kembali digali. Demikian pula dengan makam istrinya tercinta dan sisa-sisa jasadnya bisa dikremasikan." ujarnya.

Kekecewaan akan hilangnya makam tokoh Tionghoa Cirebon itu juga dirasakan sesepuh etnis Tiqnghoa lainnya, Ir. Wasru Pragantha Zhong (76). Ia yang dikenal dengan panggilan Pak Chong tersebut merupakan seorang pendiri organisasi heritage etnis Tionghoa. "Kami kehilangan bukti sejarah dengan hilangnya makam Majoor Tan Tjin Kie," ujar Ketua Majelis Tinggi Kong Hu Chu Indonesia (Matakin) Pusat, Wasru P. Zhong.

Siapa Tan Ijin Kie?
Kamis Wage, 13 Februari 1919, bertepatan dengan 12 Ju-madil Awal 1337 H, Kota Cirebon dikejutkan dengan datangnya ribuan penduduk dari berbagai daerah ke Jln. Pasuket-an. Mereka terdiri atas berbagai etnis, dan etnis paling besar yang datang ke tempat itu adalah Tionghoa.

Jalanan kota tertutup rapat oleh lautan manusia dari berbagai penjuru. Merayap memasuki Jln. Pasuketan, bau asap hio makin menyengat. Makin dekat, makin sesak. Puluhan orang berbaju putih berke-rudung terbuat dari kain blacu - sebagai simbol dukacita -tampak bersembahyang di-depan peti jenazah. Jenazah yang tengah dibaringkan itu adalah Majoor Tan Tjin Kie, seorang mayor tituler Hindia Belanda keturunan Tionghoa yang kaya raya. Ia merupakan orang Tionghoa terkaya di Cirebon. Ia memiliki puluhan rumah mewah dan ribuan hektare tanah serta pabrik gula. Salah satu rumahnya yang paling mewah berada di Desa Luwunggajah (sekarang Jatiseeng Kidul Kecamatan Ciledug), diberi nama Binarong.

Nama Majoor Tan Tjin Kie memiliki pengaruh luar biasa dalam dunia politik dan militer di Kota Cirebon saat itu. Karena nama besarnya itu, Konsul Jenderal dari Tiongkok pun turut melayat ke Cirebon. Termasuk utusan Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda, Residen Cirebon, dan para Sultan Cirebon. Diperkirakan lebih dari 200.000 orang menyaksikan prosesi jenazah tersebut. Dari catatan yang ditulis putranya, Tah Gin Ho, dalam "Peringetan dari Wafatnya Majoor Tan Tjin Kie" (ditulis pada 15 September 1919), mencatat dalam dialek bahasa Melayu rendah, saat itu Kota Cirebon benar-benar penuh sesak oleh orang-orang yang datang dari berbagai penjuru. "Kota Cheribon belan tahoe lihat datengnju orang begitoebanjak seperti di itoc waktoe, jang banjaknja orang ada berlipet-lipet lebih besar dari karamean waktoe mocloed, kaloe pelal pandjang djimat kloear, berlipet-lipet lebih besar dari di keramean pesta Radja, di karamean Tjap-gouwme dan di karamean apa djoega. Pendeknya Kota Cheribon belon pema kadate-ngan orang begitoe banjak dari segala bangsa, seperti di waktoe djinazatnja Papa di koeboer"

"Ribuan anak sekolah Tionghoa Hwe Koan Waled dan Jamblang berbaris rapi dengan memakai pakaian putih-putih. Sementara beberapa opas dan serdadu Hindia Belanda berjaga-jaga. Demikian pula dengan masyarakat sekitar turut berdesak-desakan ingin menyaksikan prosesi pe-nguburan orang besar itu. Ribuan keranjang bunga ucapan dukacita ditumpuk di halaman dan ruangan rumah tersebut. Sebagai penganut kepercayaan Khong Hu Chu,Tan Tjin Kie dikubur sesuai dengan tradisi leluhurnya di Cina."

Sebelum dikubur, jenazahnya disemayamkan selama 47 hari, dari 13 Februari hingga 2 April 1919. "Maklum ia orang besar dan memiliki pengaruh," kata Pak Chong yang pernah mengajar di jurusan arsitektur Universitas Tarumanagara Jakarta . yang tengah melakukan penelitian tentang peninggalan masyarakat Tionghoa di Cirebon. Chong sendiri tertarik terhadap kisah-kisah orang Tionghoa terdahulu di Cirebon. Ini karena menyangkut berbagai peninggalan berupa bangunan-bangunan khas Tionghoa - Indonesia pada masa itu. Mengenai Ma joor Tan Tjin Kie sendiri, Chong mengatakan, banyak bangunan yang ditinggalkanolehnya. "Sayang, karena tak terpelihara, sebagian besar musnah," katanya.

Jenazah Tan ijin Kie diberangkatkan dengan upacara militer diawali tembakan salvo serdadu Belanda. Ia dikuburkan di Kampung Dukuhsemar (dulu Doekoesemar), Desa Pekalipan, yang kini lokasinya berdekatan dengan terminal bus antarkota. Tanah di sekitar kampung Dukuhsemar saat itu sepenuhnya dimiliki Majoor Tan Tjin Kie dan daerah itu dijadikan sebagai tempat peku-buran keluarga. Pada pintu masuk yang terbuat dari gapura megah, tertulis "Familie-Kerkhof van Majoor Tan Tjin Kie."
Tanah itu dibeli keluarga Tan Tjin Kie sejak 1917 yang sengaja untuk dibuat siu-hek (disiapkan untuk kuburan saat mereka masih hidup), dan mulai dibangun pada 3 Oktober 1917, satu setengah tahun sebelum ia meninggal.

Ekonomi Meningkat
Nama besar Tan Tjin Kie inilah yang membuat ribuan orang rela menyaksikan jenazahnya dikuburkan. Bahkan di kampung Dukuhsemar sendiri, atas upaya kepala desanya, dibangun sebuah panggung besar bagi orang-orang tertentu yang ingin menyaksikan penguburannya. Para pelayat dimintai bayaran 25 hingga 50 sen gulden. Sementara sewa kursi mencapai 75 sen gulden. Uang itu masuk ke kantong pribadi kepala desa.
Kematian Tan Tjin Kie ter-nyata pula sangat berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi rakyat saat itu karena hampir seluruh fasilitas umum dari mulai warung nasi, kendaraan, penginapan dan jasa naik secara drastis. Pada peristiwa itu, Tan Gin Ho menulis, "Di djalananjang di liwati stoet, orang-orang djoealan ijs, ada djoeal aer per glas 10 cent dan waroengan ada djoeal aer per kendi 1 gulden. Kira-kira djam 11 siang di djalan-djalan soedah tida ada makanan lagi, semoea makanan soedah di djoeal abis. Di Doekoesemar ada banjak waroe-ngan makanan, jang barang makanannja di djoeal dengen harga mahal, seperti sapintjo-ek nasi jang harga bijasa tjoe-ma 1 cent, dijoeal boeat 10 cent ka atas."

Untuk menyaksikan pengu-buran itu, banyak penduduk yang naik ke pohon-pohon besar sepanjang jalan. Bukan hanya orang-orang Eropa, tetapi juga nyonya-nyonya berkulit putih ramai-ramai bergelantungan di pepohonan. Demikian pula di rumah-rumah bertingkat (loteng) yang ada di sepanjang jalan, dari mulai Pasuketan, Jln. Pekiringan, Jln. Pangeran Drajat, hingga Dukuhsemar dipadati deretan orang dari berbagai kalangan.

Kereta jenazah yang ditarik sekitar 240 orang Tionghoa dengan berpakaian thungsha dan thauwpouw berwarna putih. Mereka merupakan para pekerja pabrik gula di Luwung Gajah. Saat kereta itu lewat, semua orang terdiam. Banyak orang-orang Eropa yang menghormatinya dan berlaku santun. Mereka berdiri di pinggiran jalan sambil membuka topinya. Demikian pula orang-orang Tionghoa, rela berjalan kaki mengikuti prosesi tersebut. Diperkirakan panjang pelayat, jika dihitung dari rumah duka hingga kereta jenazah, mencapai 800 meter.

Kalangan orang tua di Kampung Dukuhsemar masih menyebut bong (kuburan) Tionghoa tersebut dengan julukan "Bong Mayor". Mereka tak mengetahui, jika sang mayor Hindia Belanda itu bernama Tan Tjin Kie. "Kini kuburan-nya sudah rata dengan tanah," kata Usman, sesepuh di kampung itu. Namun untuk peku-buran keluarganya masih menyisakan batu-batu beton yang kebetulan letaknya bersebelahan dengan pekuburan Muslim.

Majoor Tan Tjin Kie dilahirkan pada Minggu Pon tanggal 25 Dji-gwee It-bauw tahun Kwie-thiu 2404 atau 1853 Masehi. Ia meninggal dalam usia 66 tahun. Kematiannya dirasakan begitu cepat. Ia seorang anggota militer (titiilar) merangkap ambtenaar yang kayaraya.

Dari catatan dan berita-berita yang ditulis Cheribonsche Courant yang dikumpulkan anaknya, Tan Tjin Kie mulai terganggu kesehatannya sejak anak perempuannya Dicky (Gwat Eng) menikah pada awal 1919. Lantaran pesta pernikahan yang dilakukan secara besar-besaran, ia merasa terlalu lelah dan kurang tidur. Meskipun sejak 1917 sang mayor itu sudah mulai merasakan sesak napas dan memasuki 1918 kakinya mulai beng-kak-bengkak. Dari hasil pemeriksaan dokter, jantungnya mengalami gangguan serius karena itu ia dianjurkan banyak istirahat.

Pada Juni 1918, Tan Tjin Kie mengalami sakit yang agak berat sehingga dokter pribadinya, dr. E. Gotlieb, harus mengundang dokter ahli bernama dr. C.D. De Langen dari Batavia. Saat itu kesehatannya berhasil pulih. Sejak 3 November hingga pertengahan Desember 1918, Mayor Tan Tjin Kie terpaksa tetirah di vilanya Kalitanjung.

Vila yang dimiliki Tan Tjin Kie di Kalitanjung sebenarnya memiliki motif yang hampir sama dengan bangunan-bangunan kantor pemerintahan yang mulai diperkenalkan masyarakat Cirebon pada awal 1800-an. Vilanya mirip Keraton Kacirebonan, memiliki pekarangan luas dan undagan (tangga) serta pada kiri kanan bangunan terdapat pintu gerbang.

Kematian Tan Tjin Kie ditandai dengan gejala-gejala mistis yang unik. Beberapa hari sebelum tahun baru Januari 1919 misalnya, selalu terdengar suara burung dares (burung hantu). Semakin lama semakin nyaring suaranya. Hal itu terjadi pada setiap malam sehingga sangat mengganggu tidur keluarganya. "Tidak enak sekali ada itoe soewara, setahoe maoe ada apa di Kota Cheribon, apa brdngkali bakal ada penjakit," kata Tan Gin Ho. (Nurdin M. Noer, wartawan senior, Ketua Umum Lembaga Basa lan Sastra Cerbori)***

Selasa, 11 Oktober 2011

SEJARAH DESA JATISEENG : POHON JATI BESAR DENGAN SUARA BERGEMURUH "SAHENG"

Desa Jatiseeng di Google Earth

SEJARAH DESA JATISEENG
oleh : Deddy Madjmoe
Nama Desa Jatiseeng erat kaitannya dengan Desa Leueweunggajah yang dimulai sejak penyebaran Islam di Cirebon oleh Syech Maulana Datuk Kahfi atau Abdul Kadir Jaelani yaitu seorang wallayullah dari Mekkah.

Banyak versi tentang sejarah lahirnya Desa Jatiseeng, tapi kita coba ikuti versi dari para sejarawan dan seniman yang diterbitkan Dinas Dikbud Kabupaten Cirebon dan tidak terlepas dari sejarah Desa Leuweunggajah.

Semula hanya sebuah pedukuhan kecil, Leuweunggajah berkembang pesat karena banyak dijadikan tempat singgah orang, tak heran penduduknyapun semakin padat. Sehubungan dengan itu konflik antar wargapun kerap terjadi dan tidak jarang sampai melakukan perang tanding. Oleh karena itu diadakan musyawarah untuk mengatasi kemelut dengan membagi Desa Leueweunggajah dan Desa Jatiseeng.

Nama Jatiseeng sendiri merupakan usulan para tokoh bahwa nama desa harus didasarkan pada peristiwa menarik dan luar biasa, yaitu bahwa ada pohon jati yang sangat besar dipinggir jalan sebelah selatan (dulu Jalan Pramuka sekarang Jalan Pangeran Walangsungsang) yang kerap mengeluarkan bunyi ‘saheng’ suara gemuruh seperti sedang menanak nasi. Suara saheng tersebut kemungkinan sebagai desiran suara ular besar atau ular siluman yang berada dilubang bawah pohon jati tersebut. Sampai saat ini, dibekas tumbuhnya pohon jati itu masih suka diberi sesajen pada waktu malam malam tertentu, karena dianggap keramat. Penulis berusaha mencari tahu posisi tepat pohon itu, ternyata ada disebuah Gang Kecil depan Sekolahan Santo Thomas.

Karena terdapat hal-hal yang aneh di pohon jati itu, akhirnya ditebanglah dan sebagian kayunya dijadikan ‘kohkol’ atau kentongan. Sekarang kentongan itu sudah rapuh dan teronggok menjadi saksi bisu, disalah satu sudut ruangan di Balai Desa Jatiseeng.

Pada tahun 1981, dengan alas an jumlah penduduk semakin padat, maka desa Jatiseeng dimekarkan menjadi dua, yaitu : Desa Jatiseeng dengan Kuwu Jenal dan Desa Jatiseeng Kidul dengan Kuwu Moch. Mu’min. Tidak hanya itu, selang beberapa tahun kemudian Desa Jatiseeng dimekarkan kembali menjadi dua yaitu Desa Jatiseeng dan Desa Damarguna.

Para Kuwu Di Desa Jatiseeng :
  1. Kuwu Bujang
  2. Kuwu Rasitem
  3. Kuwu Rawiden
  4. Kuwu Kanidjan
  5. Kuwu Asiah
  6. Kuwu Kasidem
  7. Kuwu Durahman
  8. Kuwu Kemar Baindar
  9. Kuwu Natawijaya
  10. Kuwu Imam
  11. Kuwu Maskat
  12. Kuwu Punuk
  13. Kuwu Kusen
  14. Kuwu H. Afandi
  15. Kuwu Wiradinata
  16. Kuwu Mukid
  17. Kuwu Wasjud
  18. Kuwu Rd. Armas
  19. Kuwu Jenal
  20. Pjs Kuwu Didi Supriadi
  21. Pjs Kuwu Najib
  22. Kuwu Tarno
  23. Pjs Kuwu Carda
  24. Pjs Kuwu Soemarno M.Th
  25. Kuwu Carda
  26. Pjs Kuwu M. Nugraha
  27. Kuwu Soemarno M.Th (2011-sekarang)   

GEMPA JEPANG DAN STUNAMI :Eka Erikson (perawat jompo, 2008) Desa Jatiseeng Kidul RT 04/09 Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, Jabar;

Beberapa warga Cirebon Timur menjadi korban gempa dan stunami di Jepang waktu bulan Maret kemarin, inilah liputan beritanya :

INILAH.COM, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat di Jakarta, Rabu, memastikan 35 TKI perawat pasien dan perawat jompo di lima prefektur (provinsi) di Jepang selamat pascagempa dan tsunami di negara itu pada Jumat (11/3).

Secara keseluruhan, 686 perawat pasien (nurse) dan perawat jompo (careworker/caregiver) yang ditempatkan BNP2TKI sejak 2008-2010 di Jepang atas dasar kerja sama antarpemerintah (G to G) yang tersebar di 45 dari 47 prefektur (provinsi) di negeri Sakura itu dalam keadaan selamat.

Ia mengatakan terdapat 35 orang TKI perawat pasien dan perawat jompo di lima provinsi yang terkena dampak serius atas gempa dan tsunami itu adalah Miyagi, Iwate, Fukushima, Aomori, dan Ibaraki.

Hingga Selasa (15/3), katanya, sebagian dari 35 orang tersebut masih belum terpantau keberadaannya tetapi sekarang sudah dipastikan bahwa mereka dalam keadaan selamat.

Dari ke-35 orang di lima prefektur yang selamat itu tersebar sembilan orang di prefektur Miyagi, dua orang di Iwate, empat orang di Fukushima, 12 orang di Aomori, dan delapan orang di Ibaraki.

Sembilan perawat yang bekerja di Miyagi adalah
1. Mugiyati (perawat jompo, tahun penempatan 2010) asal Tukinggedong RT 03/11 Kecamatan Puring, Kabupaten Kebumen, Jateng,
2. Desi Subarkah (perawat jompo, 2010) asal Dusun Klepusari RT 03/08, Tambaksari, Kedungreja, Kabupaten Cilacap, Jateng,
3. Jajang Rahmat (perawat jompo, 2010) asal Kampung Pasir Batu RT 02/02 Dusun Sukahaji, Kecamatan Sukawening, Kabupaten Garut, Jabar.
4. Emey Wahyudi (perawat jompo, 2009) asal Taman Tytyan Indah Blok B2 Nomor 12B, Bekasi, Jabar;
5. Siti Nur Lailiyah (perawat jompo, 2009) asal Jalan Mbah Citro RT 02/03 Wadungasih Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jatim,
6. Wihel Mariadewi (perawat jompo, 2009) asal Jalan Jambak Kototinggi Kecamatan Baso, Kota Bukittinggi, Sumbar;
7. Wisita Permanasari (perawat pasien, 2010) asal Dukuh Nogo RT 04/02 Desa Karangwaluh, Kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo, Jatim.
8. Rita Retnaningtyas (perawat pasien, 2009) asal Potrosari I RT 5/02 Srondol Kulon, Banyumanik, Semarang, Jateng,
9. Yantri (perawat pasien, 2009) asal Desa Budur, Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jabar.

Di Iwati terdapat dua orang TKI perawat jompo yakni M Nasir Sultan (2009) asal Kelurahan Sabe RT 01/01 Kecamatn Belopa Utara, Kabupaten Luwu, Sulsel, dan Miftahuddin (2009) asal Perum Kota Wisata Cluster Believeu 15, Cibubur, Kabupaten Bogor, Jabar.

Di Fukushima terdapat empat perawat pasien yang sudah dievakuasi ke Tokyo yakni :
1. Dwi Astuti (2009) asal Dukuh Soronalan 01/01 Desa Blimbing Kecamatan Karangnongko, Kabupaten Klaten, Jateng;
2. Puspawati (2009) asal Jalan Charitas Nomor 1 Timika Jaya, Mimika Baru, Papua Barat;
3. Herlina Semi (2009) asal Jalan Dirgantara LR 8 Nomor 14 RT 2/01 Paropo, Panakkukang, Makassar, Sulsel;
4. Yulianti (2009) asal Jalan Kenanga Gang Buntu II Nomor 8 Pd Bulan Senapelan, Pekanbaru, Riau.

Sementara 12 perawat pasien dan perawat jompo di Aomori dalam keadaan selamat yakni
1. Arni Susanti (perawat pasien, 2008) asal Jalan Sejahtera 148 RT 2 RW 13 Kelurahan Rumbai Boot, Kecamatan Rumbai, Pekanbaru;
2. Nurul Huda (perawat pasien, 2008) asal Jalan KH Nasution Gg Ilham Nomor 117, Pekanbaru; ,
3. Gandri, Kecamatan Pangkur, Kabupaten Ngawi, Jatim;
4. Agustinus Widi Nugroho (perawat jompo, 2010) asal Gg Tegalega Nomor 51/20, Kelurahan Ciateul, Kecamatan Regol, Bandung, Jabar;
5. Erna Irianti (perawat jompo, 2010) asal Dusun Welar, Desa Kenteng RT 04/02 Kecamatan Toron, Kabupaten Grobogan, Jateng;
6. Hade Inchi (perawat jompo, 2010) asal Blk 04 RT 03/09 Desa Cikedung Lor, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, Jabar.
7. Mulyadi Nugraha (perawat jompo, 2009) asal Jalan Raya Wanaraja Nomor 429 RT 01/09, Wanamekar, Kabupaten Garut, Jabar;
8. Suliswanto (perawat jompo, 2009) asal Moch Toha Gg Tegalega Nomor 51/20C, Kelurahan Ciateul, Bandung, Jabar; Dwi Agustin Ningrum (perawat jompo, 2008) asal Jalan H Baping RT 003 RW 09 Nomor 10, Ciracas, Jakarta Timur;
9. Rosfa Damayanti Soedirdjo (perawat jompo, 2008) asal Pamulang Indah Jalan Dahlia Blok B9 RT 06/07 Nomor 8 Pamulang, Tangerang, Banten;
10. Devi Agustina (perawat jompo, 2009) asal Desa Balerejo RT 11/02 Kecamatan Balerejo, Kabupaten Madiun, Jatim;
11. Sulis Yami Indrawati (perawat jompo, 2009) asal Blok Contilan RT 01/03 Desa/Kecamatan Kedawung, Cirebon, Jabar.
12. Achmad Kurniawan (perawat jompo, 2010) asal Sobah RT 02/05

Sementara di Ibaraki ada delapan perawat yang selamat adalah
1. Wawan Kurniawan (perawat jompo, 2009) asal Dusun 04 RT 03/04 Kecamatan Babakan, Cirebon, Jabar;
2. Astri Dewi Lanestia S (perawat jompo, 2009) asal Jalan HM Tohir Nomor 20 RT 2/01 Kelurahan Pondok Cina, Kecamat Beji, Kota Depok, Jabar;
3. Masnawati (perawat jompo, 2009) BTN Dewi Kumala Sari Blok AB 9/10, Makassar, Sulsel;
4. Romie Anugrah (perawat jompo, 2009) asal Dusun 05 RT 02/10 Desa babakan Gebang, Kecamatan Babakan, Cirebon, Jabar.
5. Ari Minggah Rahayu (perawat, 2009) asal Jalan Ceremai Raya BC/232 RT 5/13 Kayuringin, Bekasi Selatan, Jabar;
6. Rastini (perawat, 2009) asal Blok Karang Wangi 05/03 Budur Ciwaringin, Cirebon, Jabar;
7. Eka Erikson (perawat jompo, 2008) Desa Jatiseeng Kidul RT 04/09 Kecamatan Ciledug, Kabupaten Cirebon, Jabar;
8. Kartiwan (perawat jompo, 2008) asal Kabupaten Bandung.

"Pada umumnya mereka juga sudah menghubungi keluarganya di Tanah Air melalui telepon maupun surat elektronik," kata Jumhur. [ant]

CILEDUG MEMBUTUHKAN RIBUAN LUBANG BIOPORI :Lubang Resapan Biopori, tepat guna, pelestarian air, banjir, kompos, sampah organik

Secara alami, biopori adalah lubang-lubang kecil pada tanah yang terbentuk akibat aktivitas organisme dalam tanah seperti cacing atau pergerakan akar-akar dalam tanah. Lubang tersebut akan berisi udara dan menjadi jalur mengalirnya air. Jadi air hujan tidak langsung masuk ke saluran pembuangan air, tetapi meresap ke dalam tanah melalui lubang tersebut.
Tetapi, di daerah perkotaan, keberadaan pepohonan semakin tergusur oleh bangunan-bangunan sehingga lubang biopori menjadi semakin langka. Lagi pula, banyaknya pepohonan tidak selalu mengartikan akan ada banyak air yang terserap, karena permukaan tanah yang tertutup lumut membuat air tidak dapat meresap ke tanah.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dibuatlah lubang resapan atau sumur resapan buatan manusia yang sekarang dikenal dengan lubang biopori. Biopori dapat dibuat di halaman depan, halaman belakang atau taman dari rumah. Lubang biopori sendiri umumnya dibuat dengan lebar kira-kira 30 cm, jarak antar lubang sekitar 50 cm-100 cm.
Kita tidak akan sia-sia bila membuat biopori ini. Manfaat yang bisa didapat antara lain :
  1. Mencegah banjir

    Banjir sendiri telah menjadi bencana yang merugikan bagi warga Jakarta. Keberadaan lubang biopori dapat menjadi jawaban dari masalah tersebut. Bayangkan bila setiap rumah, kantor atau tiap bangunan di Jakarta memiliki biopori berarti jumlah air yang segera masuk ke tanah tentu banyak pula dan dapat mencegah terjadinya banjir.
  2. Tempat pembuangan sampah organik

    Banyaknya sampah yang bertumpuk juga telah menjadi masalah tersendiri di kota Jakarta. Kita dapat pula membantu mengurangi masalah ini dengan memisahkan sampah rumah tangga kita menjadi sampah organik dan non organik. Untuk sampah organik dapat kita buang dlaam lubang biopori yang kita buat.
  3. Menyuburkan tanaman

    Sampah organik yang kita buang di lubang biopori merupakan makanan untuk organisme yang ada dalam tanah. Organisme tersebut dapat membuat sampah menjadi kompos yang merupakan pupuk bagi tanaman di sekitarnya.
  4. Meningkatkan kualitas air tanah

    Organisme dalam tanah mampu membuat samapah menjadi mineral-mineral yang kemudian dapat larut dalam air. Hasilnya, air tanah menjadi berkualitas karena mengandung mineral.
Banyak manfaat untuk lingkungan kita dengan adanya biopori, maka membuat biopori dapat menjadi salah satu pertimbangan kita agar lingkungan kita menjadi lebih baik.

Jika Anda dan keluarga berminat datang saja ke Greenhouse Deddy kermit Madjmoe di Jatiseeng Ciledug, disana dapat share dan belajar bersama membuat lubang biopori, sekalian pinjam alatnya hehehehe....