SILAKAN BERBAGI

Rabu, 12 Oktober 2011

Jejak Konglomerat Tionghoa-Cirebon "Majoor Tan Tjin Kie" Pemilik Gedung Mewah Binarong Di Jatiseeng Kidul (saat itu Loewoenggadjah) Ciledug

Jejak Konglomerat Tionghoa-Cirebon


TAN Tjin Kie, nama yang kini asing terdengar di telinga masyarakat Cirebon. Namun, pada awal tahun 1900-an, namn itu pernah dikenal di sepanjang jalur pantai utara Jawa, Babah Tjin Kie, demikian kalangan sepuh masyarakat Cirebon memanggilnya. Sebuah nama yang legendaris karena kekayaannya yang luar biasa. Nama tokoh ini sejajar dengan orang kara lainnya, seperti Ki Mardiyah (Gegesik) dan Hj. Moentoek (Losari).

Kampung Dukuhsemar. Kelurahan Drajat, Kota Cirebon, yang letaknya bersebelahan dengan terminal bus antarkota, sepertinya tak memberi kesan luar biasa. Deretan rumah sederhana bertengger seperti perkampungan biasa yang ada di kota itu. Namun di tengah perkampungan itu, tersisa beberapa bong (makam Cina) yang telah runtuh. Bangunan dasar bong tersebut masih tampak menonjol di permukaan tanah, seakan sulit dibongkar karena kekamya beton bong yang keras. Di tempat itulah makam keluarga Tan Tjin Kie berada. Sementara kuburan Tan Tjin Kie sendiri diduga berada di atas rumah penduduk.

"Tan Tjin Kie telah menjadi legenda masyarakat Tionghoa di Cirebon," kata sesepuh masyarakat Tionghoa Cirebon, dr. Iwan Satibi (72), yang memiliki nama asli Ie Tiong Bie kepada penulis. "Beliau adalah orang besar yang patut mendapat penghormatan abadi. Kami mengusulkan agar makamnya kembali digali. Demikian pula dengan makam istrinya tercinta dan sisa-sisa jasadnya bisa dikremasikan." ujarnya.

Kekecewaan akan hilangnya makam tokoh Tionghoa Cirebon itu juga dirasakan sesepuh etnis Tiqnghoa lainnya, Ir. Wasru Pragantha Zhong (76). Ia yang dikenal dengan panggilan Pak Chong tersebut merupakan seorang pendiri organisasi heritage etnis Tionghoa. "Kami kehilangan bukti sejarah dengan hilangnya makam Majoor Tan Tjin Kie," ujar Ketua Majelis Tinggi Kong Hu Chu Indonesia (Matakin) Pusat, Wasru P. Zhong.

Siapa Tan Ijin Kie?
Kamis Wage, 13 Februari 1919, bertepatan dengan 12 Ju-madil Awal 1337 H, Kota Cirebon dikejutkan dengan datangnya ribuan penduduk dari berbagai daerah ke Jln. Pasuket-an. Mereka terdiri atas berbagai etnis, dan etnis paling besar yang datang ke tempat itu adalah Tionghoa.

Jalanan kota tertutup rapat oleh lautan manusia dari berbagai penjuru. Merayap memasuki Jln. Pasuketan, bau asap hio makin menyengat. Makin dekat, makin sesak. Puluhan orang berbaju putih berke-rudung terbuat dari kain blacu - sebagai simbol dukacita -tampak bersembahyang di-depan peti jenazah. Jenazah yang tengah dibaringkan itu adalah Majoor Tan Tjin Kie, seorang mayor tituler Hindia Belanda keturunan Tionghoa yang kaya raya. Ia merupakan orang Tionghoa terkaya di Cirebon. Ia memiliki puluhan rumah mewah dan ribuan hektare tanah serta pabrik gula. Salah satu rumahnya yang paling mewah berada di Desa Luwunggajah (sekarang Jatiseeng Kidul Kecamatan Ciledug), diberi nama Binarong.

Nama Majoor Tan Tjin Kie memiliki pengaruh luar biasa dalam dunia politik dan militer di Kota Cirebon saat itu. Karena nama besarnya itu, Konsul Jenderal dari Tiongkok pun turut melayat ke Cirebon. Termasuk utusan Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda, Residen Cirebon, dan para Sultan Cirebon. Diperkirakan lebih dari 200.000 orang menyaksikan prosesi jenazah tersebut. Dari catatan yang ditulis putranya, Tah Gin Ho, dalam "Peringetan dari Wafatnya Majoor Tan Tjin Kie" (ditulis pada 15 September 1919), mencatat dalam dialek bahasa Melayu rendah, saat itu Kota Cirebon benar-benar penuh sesak oleh orang-orang yang datang dari berbagai penjuru. "Kota Cheribon belan tahoe lihat datengnju orang begitoebanjak seperti di itoc waktoe, jang banjaknja orang ada berlipet-lipet lebih besar dari karamean waktoe mocloed, kaloe pelal pandjang djimat kloear, berlipet-lipet lebih besar dari di keramean pesta Radja, di karamean Tjap-gouwme dan di karamean apa djoega. Pendeknya Kota Cheribon belon pema kadate-ngan orang begitoe banjak dari segala bangsa, seperti di waktoe djinazatnja Papa di koeboer"

"Ribuan anak sekolah Tionghoa Hwe Koan Waled dan Jamblang berbaris rapi dengan memakai pakaian putih-putih. Sementara beberapa opas dan serdadu Hindia Belanda berjaga-jaga. Demikian pula dengan masyarakat sekitar turut berdesak-desakan ingin menyaksikan prosesi pe-nguburan orang besar itu. Ribuan keranjang bunga ucapan dukacita ditumpuk di halaman dan ruangan rumah tersebut. Sebagai penganut kepercayaan Khong Hu Chu,Tan Tjin Kie dikubur sesuai dengan tradisi leluhurnya di Cina."

Sebelum dikubur, jenazahnya disemayamkan selama 47 hari, dari 13 Februari hingga 2 April 1919. "Maklum ia orang besar dan memiliki pengaruh," kata Pak Chong yang pernah mengajar di jurusan arsitektur Universitas Tarumanagara Jakarta . yang tengah melakukan penelitian tentang peninggalan masyarakat Tionghoa di Cirebon. Chong sendiri tertarik terhadap kisah-kisah orang Tionghoa terdahulu di Cirebon. Ini karena menyangkut berbagai peninggalan berupa bangunan-bangunan khas Tionghoa - Indonesia pada masa itu. Mengenai Ma joor Tan Tjin Kie sendiri, Chong mengatakan, banyak bangunan yang ditinggalkanolehnya. "Sayang, karena tak terpelihara, sebagian besar musnah," katanya.

Jenazah Tan ijin Kie diberangkatkan dengan upacara militer diawali tembakan salvo serdadu Belanda. Ia dikuburkan di Kampung Dukuhsemar (dulu Doekoesemar), Desa Pekalipan, yang kini lokasinya berdekatan dengan terminal bus antarkota. Tanah di sekitar kampung Dukuhsemar saat itu sepenuhnya dimiliki Majoor Tan Tjin Kie dan daerah itu dijadikan sebagai tempat peku-buran keluarga. Pada pintu masuk yang terbuat dari gapura megah, tertulis "Familie-Kerkhof van Majoor Tan Tjin Kie."
Tanah itu dibeli keluarga Tan Tjin Kie sejak 1917 yang sengaja untuk dibuat siu-hek (disiapkan untuk kuburan saat mereka masih hidup), dan mulai dibangun pada 3 Oktober 1917, satu setengah tahun sebelum ia meninggal.

Ekonomi Meningkat
Nama besar Tan Tjin Kie inilah yang membuat ribuan orang rela menyaksikan jenazahnya dikuburkan. Bahkan di kampung Dukuhsemar sendiri, atas upaya kepala desanya, dibangun sebuah panggung besar bagi orang-orang tertentu yang ingin menyaksikan penguburannya. Para pelayat dimintai bayaran 25 hingga 50 sen gulden. Sementara sewa kursi mencapai 75 sen gulden. Uang itu masuk ke kantong pribadi kepala desa.
Kematian Tan Tjin Kie ter-nyata pula sangat berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi rakyat saat itu karena hampir seluruh fasilitas umum dari mulai warung nasi, kendaraan, penginapan dan jasa naik secara drastis. Pada peristiwa itu, Tan Gin Ho menulis, "Di djalananjang di liwati stoet, orang-orang djoealan ijs, ada djoeal aer per glas 10 cent dan waroengan ada djoeal aer per kendi 1 gulden. Kira-kira djam 11 siang di djalan-djalan soedah tida ada makanan lagi, semoea makanan soedah di djoeal abis. Di Doekoesemar ada banjak waroe-ngan makanan, jang barang makanannja di djoeal dengen harga mahal, seperti sapintjo-ek nasi jang harga bijasa tjoe-ma 1 cent, dijoeal boeat 10 cent ka atas."

Untuk menyaksikan pengu-buran itu, banyak penduduk yang naik ke pohon-pohon besar sepanjang jalan. Bukan hanya orang-orang Eropa, tetapi juga nyonya-nyonya berkulit putih ramai-ramai bergelantungan di pepohonan. Demikian pula di rumah-rumah bertingkat (loteng) yang ada di sepanjang jalan, dari mulai Pasuketan, Jln. Pekiringan, Jln. Pangeran Drajat, hingga Dukuhsemar dipadati deretan orang dari berbagai kalangan.

Kereta jenazah yang ditarik sekitar 240 orang Tionghoa dengan berpakaian thungsha dan thauwpouw berwarna putih. Mereka merupakan para pekerja pabrik gula di Luwung Gajah. Saat kereta itu lewat, semua orang terdiam. Banyak orang-orang Eropa yang menghormatinya dan berlaku santun. Mereka berdiri di pinggiran jalan sambil membuka topinya. Demikian pula orang-orang Tionghoa, rela berjalan kaki mengikuti prosesi tersebut. Diperkirakan panjang pelayat, jika dihitung dari rumah duka hingga kereta jenazah, mencapai 800 meter.

Kalangan orang tua di Kampung Dukuhsemar masih menyebut bong (kuburan) Tionghoa tersebut dengan julukan "Bong Mayor". Mereka tak mengetahui, jika sang mayor Hindia Belanda itu bernama Tan Tjin Kie. "Kini kuburan-nya sudah rata dengan tanah," kata Usman, sesepuh di kampung itu. Namun untuk peku-buran keluarganya masih menyisakan batu-batu beton yang kebetulan letaknya bersebelahan dengan pekuburan Muslim.

Majoor Tan Tjin Kie dilahirkan pada Minggu Pon tanggal 25 Dji-gwee It-bauw tahun Kwie-thiu 2404 atau 1853 Masehi. Ia meninggal dalam usia 66 tahun. Kematiannya dirasakan begitu cepat. Ia seorang anggota militer (titiilar) merangkap ambtenaar yang kayaraya.

Dari catatan dan berita-berita yang ditulis Cheribonsche Courant yang dikumpulkan anaknya, Tan Tjin Kie mulai terganggu kesehatannya sejak anak perempuannya Dicky (Gwat Eng) menikah pada awal 1919. Lantaran pesta pernikahan yang dilakukan secara besar-besaran, ia merasa terlalu lelah dan kurang tidur. Meskipun sejak 1917 sang mayor itu sudah mulai merasakan sesak napas dan memasuki 1918 kakinya mulai beng-kak-bengkak. Dari hasil pemeriksaan dokter, jantungnya mengalami gangguan serius karena itu ia dianjurkan banyak istirahat.

Pada Juni 1918, Tan Tjin Kie mengalami sakit yang agak berat sehingga dokter pribadinya, dr. E. Gotlieb, harus mengundang dokter ahli bernama dr. C.D. De Langen dari Batavia. Saat itu kesehatannya berhasil pulih. Sejak 3 November hingga pertengahan Desember 1918, Mayor Tan Tjin Kie terpaksa tetirah di vilanya Kalitanjung.

Vila yang dimiliki Tan Tjin Kie di Kalitanjung sebenarnya memiliki motif yang hampir sama dengan bangunan-bangunan kantor pemerintahan yang mulai diperkenalkan masyarakat Cirebon pada awal 1800-an. Vilanya mirip Keraton Kacirebonan, memiliki pekarangan luas dan undagan (tangga) serta pada kiri kanan bangunan terdapat pintu gerbang.

Kematian Tan Tjin Kie ditandai dengan gejala-gejala mistis yang unik. Beberapa hari sebelum tahun baru Januari 1919 misalnya, selalu terdengar suara burung dares (burung hantu). Semakin lama semakin nyaring suaranya. Hal itu terjadi pada setiap malam sehingga sangat mengganggu tidur keluarganya. "Tidak enak sekali ada itoe soewara, setahoe maoe ada apa di Kota Cheribon, apa brdngkali bakal ada penjakit," kata Tan Gin Ho. (Nurdin M. Noer, wartawan senior, Ketua Umum Lembaga Basa lan Sastra Cerbori)***

2 komentar:

  1. Saya sangat berterima kasih kepada Forum Kota Cileduk
    Cirebon mengenai sejarah Tan Tjin Kie.
    Jusdi
    cucu buyut Tan Tjin Wie (kakak dari Tan Tjin Kie)

    BalasHapus
  2. Sama sama Kang J Jusdi, kami saat ini sedang berupaya mengumpulkan literatur tentang beliau, ini sangat penting bagi generasi muda di Ciledug. Jika boleh Kang J Jusdi juga dapat mengirimkan naskah tentang Gedong Binarong, Masjid Luwunggajah (saat ini menjadi Masjid Desa Sukadana), Klinik Pabuaran dan Pabrik Gula Leuweunggajah untuk kami posting diblog ini.

    Terimakasih, salam hormat buat keluarga semua.

    BalasHapus

Terimakasih Telah Berkunjung di Blog Warga Kota Ciledug Cirebon