Jejak Konglomerat Tionghoa-Cirebon
TAN Tjin Kie, nama yang kini asing terdengar di telinga masyarakat
Cirebon. Namun, pada awal tahun 1900-an, namn itu pernah dikenal di
sepanjang jalur pantai utara Jawa, Babah Tjin Kie, demikian kalangan
sepuh masyarakat Cirebon memanggilnya. Sebuah nama yang legendaris
karena kekayaannya yang luar biasa. Nama tokoh ini sejajar dengan orang kara lainnya, seperti Ki Mardiyah (Gegesik) dan Hj. Moentoek (Losari).
Kampung Dukuhsemar. Kelurahan Drajat, Kota Cirebon, yang letaknya
bersebelahan dengan terminal bus antarkota, sepertinya tak memberi kesan
luar biasa. Deretan rumah sederhana bertengger seperti perkampungan
biasa yang ada di kota itu. Namun di tengah perkampungan itu, tersisa beberapa bong (makam Cina)
yang telah runtuh. Bangunan dasar bong tersebut masih tampak menonjol di
permukaan tanah, seakan sulit dibongkar karena kekamya beton bong yang
keras. Di tempat itulah makam keluarga Tan Tjin Kie berada. Sementara
kuburan Tan Tjin Kie sendiri diduga berada di atas rumah penduduk.
"Tan Tjin Kie telah menjadi legenda masyarakat Tionghoa di Cirebon,"
kata sesepuh masyarakat Tionghoa Cirebon, dr. Iwan Satibi (72), yang
memiliki nama asli Ie Tiong Bie kepada penulis. "Beliau adalah orang
besar yang patut mendapat penghormatan abadi. Kami mengusulkan agar
makamnya kembali digali. Demikian pula dengan makam istrinya tercinta
dan sisa-sisa jasadnya bisa dikremasikan." ujarnya.
Kekecewaan akan hilangnya makam tokoh Tionghoa Cirebon itu juga
dirasakan sesepuh etnis Tiqnghoa lainnya, Ir. Wasru Pragantha Zhong
(76). Ia yang dikenal dengan panggilan Pak Chong tersebut merupakan
seorang pendiri organisasi heritage etnis Tionghoa. "Kami kehilangan bukti sejarah dengan hilangnya makam Majoor Tan Tjin Kie," ujar Ketua Majelis Tinggi Kong Hu Chu Indonesia (Matakin) Pusat, Wasru P. Zhong.
Siapa Tan Ijin Kie?
Kamis Wage, 13 Februari 1919, bertepatan dengan 12 Ju-madil Awal 1337
H, Kota Cirebon dikejutkan dengan datangnya ribuan penduduk dari
berbagai daerah ke Jln. Pasuket-an. Mereka terdiri atas berbagai etnis,
dan etnis paling besar yang datang ke tempat itu adalah Tionghoa.
Jalanan kota tertutup rapat oleh lautan manusia dari berbagai
penjuru. Merayap memasuki Jln. Pasuketan, bau asap hio makin menyengat.
Makin dekat, makin sesak. Puluhan orang berbaju putih berke-rudung
terbuat dari kain blacu - sebagai simbol dukacita -tampak bersembahyang
di-depan peti jenazah. Jenazah yang tengah dibaringkan itu adalah Majoor
Tan Tjin Kie, seorang mayor tituler Hindia Belanda keturunan Tionghoa
yang kaya raya. Ia merupakan orang Tionghoa terkaya di Cirebon. Ia memiliki puluhan
rumah mewah dan ribuan hektare tanah serta pabrik gula. Salah satu
rumahnya yang paling mewah berada di Desa Luwunggajah (sekarang Jatiseeng Kidul
Kecamatan Ciledug), diberi nama Binarong.
Nama Majoor Tan Tjin Kie memiliki pengaruh luar biasa dalam dunia
politik dan militer di Kota Cirebon saat itu. Karena nama besarnya itu,
Konsul Jenderal dari Tiongkok pun turut melayat ke Cirebon. Termasuk
utusan Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda, Residen Cirebon, dan
para Sultan Cirebon. Diperkirakan lebih dari 200.000 orang menyaksikan
prosesi jenazah tersebut. Dari catatan yang ditulis putranya, Tah Gin Ho, dalam "Peringetan
dari Wafatnya Majoor Tan Tjin Kie" (ditulis pada 15 September 1919),
mencatat dalam dialek bahasa Melayu rendah, saat itu Kota Cirebon
benar-benar penuh sesak oleh orang-orang yang datang dari berbagai
penjuru. "Kota Cheribon belan tahoe lihat datengnju orang begitoebanjak
seperti di itoc waktoe, jang banjaknja orang ada berlipet-lipet lebih
besar dari karamean waktoe mocloed, kaloe pelal pandjang djimat kloear,
berlipet-lipet lebih besar dari di keramean pesta Radja, di karamean
Tjap-gouwme dan di karamean apa djoega. Pendeknya Kota Cheribon belon
pema kadate-ngan orang begitoe banjak dari segala bangsa, seperti di
waktoe djinazatnja Papa di koeboer"
"Ribuan anak sekolah Tionghoa Hwe Koan Waled dan Jamblang berbaris
rapi dengan memakai pakaian putih-putih. Sementara beberapa opas dan
serdadu Hindia Belanda berjaga-jaga. Demikian pula dengan masyarakat
sekitar turut berdesak-desakan ingin menyaksikan prosesi pe-nguburan
orang besar itu. Ribuan keranjang bunga ucapan dukacita ditumpuk di halaman dan ruangan
rumah tersebut. Sebagai penganut kepercayaan Khong Hu Chu,Tan Tjin Kie
dikubur sesuai dengan tradisi leluhurnya di Cina."
Sebelum dikubur,
jenazahnya disemayamkan selama 47 hari, dari 13 Februari hingga 2 April
1919. "Maklum ia orang besar dan memiliki pengaruh," kata Pak Chong yang
pernah mengajar di jurusan arsitektur Universitas Tarumanagara Jakarta .
yang tengah melakukan penelitian tentang peninggalan masyarakat
Tionghoa di Cirebon. Chong sendiri tertarik terhadap kisah-kisah orang
Tionghoa terdahulu di Cirebon. Ini karena menyangkut berbagai
peninggalan berupa bangunan-bangunan khas Tionghoa - Indonesia pada masa
itu. Mengenai Ma joor Tan Tjin Kie sendiri, Chong mengatakan, banyak
bangunan yang ditinggalkanolehnya. "Sayang, karena tak terpelihara,
sebagian besar musnah," katanya.
Jenazah Tan ijin Kie diberangkatkan dengan upacara militer diawali
tembakan salvo serdadu Belanda. Ia dikuburkan di Kampung Dukuhsemar
(dulu Doekoesemar), Desa Pekalipan, yang kini lokasinya berdekatan
dengan terminal bus antarkota. Tanah di sekitar kampung Dukuhsemar saat
itu sepenuhnya dimiliki Majoor Tan Tjin Kie dan daerah itu dijadikan
sebagai tempat peku-buran keluarga. Pada pintu masuk yang terbuat dari
gapura megah, tertulis "Familie-Kerkhof van Majoor Tan Tjin Kie."
Tanah itu dibeli keluarga Tan Tjin Kie sejak 1917 yang sengaja untuk
dibuat siu-hek (disiapkan untuk kuburan saat mereka masih hidup), dan
mulai dibangun pada 3 Oktober 1917, satu setengah tahun sebelum ia
meninggal.
Ekonomi Meningkat
Nama besar Tan Tjin Kie inilah yang membuat ribuan orang rela
menyaksikan jenazahnya dikuburkan. Bahkan di kampung Dukuhsemar sendiri,
atas upaya kepala desanya, dibangun sebuah panggung besar bagi
orang-orang tertentu yang ingin menyaksikan penguburannya. Para pelayat
dimintai bayaran 25 hingga 50 sen gulden. Sementara sewa kursi mencapai
75 sen gulden. Uang itu masuk ke kantong pribadi kepala desa.
Kematian Tan Tjin Kie ter-nyata pula sangat berpengaruh terhadap
peningkatan ekonomi rakyat saat itu karena hampir seluruh fasilitas umum
dari mulai warung nasi, kendaraan, penginapan dan jasa naik secara
drastis. Pada peristiwa itu, Tan Gin Ho menulis, "Di djalananjang di
liwati stoet, orang-orang djoealan ijs, ada djoeal aer per glas 10 cent
dan waroengan ada djoeal aer per kendi 1 gulden. Kira-kira djam 11 siang
di djalan-djalan soedah tida ada makanan lagi, semoea makanan soedah di
djoeal abis. Di Doekoesemar ada banjak waroe-ngan makanan, jang barang
makanannja di djoeal dengen harga mahal, seperti sapintjo-ek nasi jang
harga bijasa tjoe-ma 1 cent, dijoeal boeat 10 cent ka atas."
Untuk menyaksikan pengu-buran itu, banyak penduduk yang naik ke
pohon-pohon besar sepanjang jalan. Bukan hanya orang-orang Eropa, tetapi
juga nyonya-nyonya berkulit putih ramai-ramai bergelantungan di
pepohonan. Demikian pula di rumah-rumah bertingkat (loteng) yang ada di
sepanjang jalan, dari mulai Pasuketan, Jln. Pekiringan, Jln. Pangeran
Drajat, hingga Dukuhsemar dipadati deretan orang dari berbagai kalangan.
Kereta jenazah yang ditarik sekitar 240 orang Tionghoa dengan
berpakaian thungsha dan thauwpouw berwarna putih. Mereka merupakan para
pekerja pabrik gula di Luwung Gajah. Saat kereta itu lewat, semua orang
terdiam. Banyak orang-orang Eropa yang menghormatinya dan berlaku
santun. Mereka berdiri di pinggiran jalan sambil membuka topinya.
Demikian pula orang-orang Tionghoa, rela berjalan kaki mengikuti prosesi
tersebut. Diperkirakan panjang pelayat, jika dihitung dari rumah duka
hingga kereta jenazah, mencapai 800 meter.
Kalangan orang tua di Kampung Dukuhsemar masih menyebut bong
(kuburan) Tionghoa tersebut dengan julukan "Bong Mayor". Mereka tak
mengetahui, jika sang mayor Hindia Belanda itu bernama Tan Tjin Kie.
"Kini kuburan-nya sudah rata dengan tanah," kata Usman, sesepuh di
kampung itu. Namun untuk peku-buran keluarganya masih menyisakan
batu-batu beton yang kebetulan letaknya bersebelahan dengan pekuburan
Muslim.
Majoor Tan Tjin Kie dilahirkan pada Minggu Pon tanggal 25 Dji-gwee
It-bauw tahun Kwie-thiu 2404 atau 1853 Masehi. Ia meninggal dalam usia
66 tahun. Kematiannya dirasakan begitu cepat. Ia seorang anggota militer
(titiilar) merangkap ambtenaar yang kayaraya.
Dari catatan dan berita-berita yang ditulis Cheribonsche Courant yang
dikumpulkan anaknya, Tan Tjin Kie mulai terganggu kesehatannya sejak
anak perempuannya Dicky (Gwat Eng) menikah pada awal 1919. Lantaran
pesta pernikahan yang dilakukan secara besar-besaran, ia merasa terlalu
lelah dan kurang tidur. Meskipun sejak 1917 sang mayor itu sudah mulai
merasakan sesak napas dan memasuki 1918 kakinya mulai beng-kak-bengkak.
Dari hasil pemeriksaan dokter, jantungnya mengalami gangguan serius
karena itu ia dianjurkan banyak istirahat.
Pada Juni 1918, Tan Tjin Kie mengalami sakit yang agak berat sehingga
dokter pribadinya, dr. E. Gotlieb, harus mengundang dokter ahli bernama
dr. C.D. De Langen dari Batavia. Saat itu kesehatannya berhasil pulih.
Sejak 3 November hingga pertengahan Desember 1918, Mayor Tan Tjin Kie
terpaksa tetirah di vilanya Kalitanjung.
Vila yang dimiliki Tan Tjin Kie di Kalitanjung sebenarnya memiliki
motif yang hampir sama dengan bangunan-bangunan kantor pemerintahan yang
mulai diperkenalkan masyarakat Cirebon pada awal 1800-an. Vilanya mirip
Keraton Kacirebonan, memiliki pekarangan luas dan undagan (tangga)
serta pada kiri kanan bangunan terdapat pintu gerbang.
Kematian Tan Tjin Kie ditandai dengan gejala-gejala mistis yang unik.
Beberapa hari sebelum tahun baru Januari 1919 misalnya, selalu
terdengar suara burung dares (burung hantu). Semakin lama semakin
nyaring suaranya. Hal itu terjadi pada setiap malam sehingga sangat
mengganggu tidur keluarganya. "Tidak enak sekali ada itoe soewara,
setahoe maoe ada apa di Kota Cheribon, apa brdngkali bakal ada
penjakit," kata Tan Gin Ho. (Nurdin M. Noer, wartawan senior, Ketua Umum
Lembaga Basa lan Sastra Cerbori)***
Saya sangat berterima kasih kepada Forum Kota Cileduk
BalasHapusCirebon mengenai sejarah Tan Tjin Kie.
Jusdi
cucu buyut Tan Tjin Wie (kakak dari Tan Tjin Kie)
Sama sama Kang J Jusdi, kami saat ini sedang berupaya mengumpulkan literatur tentang beliau, ini sangat penting bagi generasi muda di Ciledug. Jika boleh Kang J Jusdi juga dapat mengirimkan naskah tentang Gedong Binarong, Masjid Luwunggajah (saat ini menjadi Masjid Desa Sukadana), Klinik Pabuaran dan Pabrik Gula Leuweunggajah untuk kami posting diblog ini.
BalasHapusTerimakasih, salam hormat buat keluarga semua.